Gagasan Ridwan Mukti soal Pilkada Asimetrik Menarik Banyak Perhatian

Ridwan Mukti (berdiri kiri)  saat mempertahankan disertasinya terkait
pilkada asimetrik di  Unsri, Palembang, Senin (23/12). 
PALEMBANG, JO- Bupati Musi Rawas H Ridwan Mukti meraih gelar doktor Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), Senin (23/12) dengan predikat cumlaude.

Disertasinya "Asymmetric Local Election System in Indonesia" atau Sistem Pemilihan Kepala Daerah Beragam di Indonesia: Implikasi Makna Restriktif dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, mengundang perhatian banyak karena dinilai sangat tepat untuk kondisi Indonesia yang beragam.

Pilkada asimetrik (tidak seragam) adalah pelaksanaan pilkada yang disesuaikan dengan kondisi  masyarakat di suatu daerah, bukan dengan penyeragaman yang pemberlakuannya sama di seluruh daerah di Indonesia.

Dalam pilkada asimetrik cukup diatur dengan perda yang disesuailan dengan kondisi kultural masyarakat daerah. Selain itu, KPU tidak perlu pula ada secara permanen tapi sifatnya on call atau begitu ada pilkada saat itulah dia ada.

Ridwan Mukti
Menurut Ridwan, semangat UUD 1945 bukanlah penyeragaman tapi adalah keberagaman. "Cepat atau lambat justru pilkada penyeragaman seperti saat ini akan memperlemah NKRI," katanya.

Terbukti pula pelaksaan pilkada langsung yang seragam di seluruh Indonesia telah memicu berbagai permasalahan antara lain konflik antarmasyarakat, politisasi anggaran, pasca pilkada biaya mahal, disharmoni dengan wakil bupati/wakil walikota/wakil gubernur, banyak kepala daerah yang kemudian berurusan dengan korupsi dan persoalan hukum lainnya.

Bahkan, pilkada model langsung seperti ini juga melahirkan banyak kepala daerah yang tidak kompeten.

Sebagai perbandingan, Ridwan menunjukkan kepada kondisi Sumsel. "Di Sumsel pemilih 47 persen masyarakat Sumsel transaksional dan emosional, yang rasional hanya 30 persen," katanya.

Selain itu pilkada telah merusak semangat gotong-royong dalam masyarakat kita. Kapitalisme dan individualisme menjadi dominan. Ini tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.

"Model pilkada ke depan merupakan conditio sine quanon harus beragam yang mencerminkan kebhinekaan dalam kerangka negara kesatuan. Implementasinya tergantung kesiapan masing-masing daerah (tidak perlu serentak) untuk memilih salah satu model pilkada yang sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah," katanya.

Model yang dimaksud Ridwan adalah sistem pilkada langsung, sistem pilkada langsung dipersempit, sistem perwakilan DPRD, sistem perwakilan diperluas, dan sistem adat. Kelima model itu bisa diterapkan sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Jadi tidak diseragamkan dengan hanya model pilkada langsung seperti saat ini.

Menurut Ridwan, penggunaan hanya model pilkada langsung bisa menghadirkan "kutuk" manakala money politics dijadikan tulang punggung partisipasi. Bahkan pilkada dapat menjadi bencana ketika politik marketing memanipulasi jati diri para kandidat pilkada, kemudian melakukan pembunuhan karakter bila perlu terjerembab ke dalam penjara.

"Disini pilkada sudah dinodai dan oleh sebab itu aturan hukum yang mengatur pilkada semacam ini perlu ditelusuri hingga ke akar filsafatnya yakni Pancasila dan UUD 1945," kata Ridwan Mukti.

Dikatakan, konstitusi memang sudah mengatur permasalahan yang berkaitan dengan pilkada, yakni pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tapi, menurut Ridwan, pasal tersebut tidak boleh ditafsirkan secara parsial karena tidak berdiri sendiri.

Menurut Ridwan, ada 16 pasal lain yang dalam pasal-pasal UUD 1945 tersebut berkaitan erat tidak boleh dipisahkan satu sama lain, yaitu pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (5) sampai ayat (7), pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5), sampai dengan ayat (7). Pasal 37 ayat (5), Pasal 18B ayat (1), dan ayat (2), pasal 25A, pasal 28I ayat (3), dan pasal 32 ayat (1).

"Kesimpulan terhadap 17 pasal konstitusi tersebut mempertegas bahwa pemilihan sistem pilkada tidak ditujukan untuk melahirkan kultur masyarakat liberal  individual kapitalistik, melainkan untuk mewujudkan kebersamaan dalam kekeluargaan masyarakat gotong-royong," katanya.

Kemudian terkonsep beragam, berkearifan lokal, tunggal ika dalam kebhinekaan, final dalam bingkai NKRI, serta dapat memperkokoh kekuasaan pemerintahan presidensial.

Penguji antara lain Prof Dr Mahfud MD, Prof Arief Hidayat, Prof Joni Emirzon, Dr Happy Warsito, Dr Ridwan, dan lainnya dengan ketua sidang Prof Amzulian Rifai.

Para undangan terlihat Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tanjung, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, politisi PPP Ahmad Yani, mantan anggota DPR yang juga politisi Golkar ibrahim Ambong, Permadi, Rektor UII Suandi Hamid, Mahadi sinambela, Eggi sudjana, Prof Nitibaya, dan lainnya.

Prof Mahfud MD mengatakan, gagasan Ridwan ini merupakan gagasan orisinil yang perlu untuk diakomodir para pembuat undang-undang di DPR.

Hal yang sama juga disampaikan Prof Arief Hidayat. "Saya sepakat dengan disertasi ini, asimetris ini sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang beragam, dan seperti diyakini Ridwan Mukti tadi justru hal ini memperkuat NKRI, Pancasila dan UUD 1945," katanya.

Ridwan Mukti melakukan penelitian di 21 daerah yang terdiri dari 11 provinsi dan 10 kabupaten/kota di Indonesia untuk menyusun disertasi ini.  (jo-2)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.