Gagasan Pilkada Asimetrik (1): Pasal 18 ayat (4) Ditafsirkan Tidak Tepat?
Ridwan Mukti |
RIDWAN Mukti bukan hanya seorang akademisi, tapi juga menjadi pelaku dari hiruk-pikuk dunia politik praktis di Indonesia sejak sebelum reformasi maupun setelahnya. Maklum ia pernah menjadi anggota DPR RI untuk dua periode sejak 1999; kemudian menjadi bupati juga dua periode, dan sebelumnya merasakan manis-pahitnya dunia organisasi, dan menjadi profesional, maupun petinggi di sejumlah perusahaan BUMN, PMA dan lainnya. Tak heran jika ia memahami bagaimana arus politik berputar terutama sejak reformasi yang membawa disebut-sebut awalnya sebagai lompatan besar tapi juga sekaligus “kemunduran besar”, mengacu kepada ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh pelaksanaan pilkada langsung dan penyeragamannya di seluruh daerah Indonesia.
Kritik keras Ridwan Mukti adalah implementasi UU No32/2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam hal penerapan hukum pemilihan kepala daerah dengan system langsung secara seragam tanpa mempertimbangkan realitas keberagaman telah menuai berbagai persoalan yang harusnya menjadi koreksi bersama seluruh komponen bangsa ini. Ia pun mengurai persoalan itu satu per satu untuk mendukung sudah saatnya Indonesia beralih ke sistem asimetrik atau tidak seragam atau pelaksanaan pilkada yang disesuaikan dengan karakter masyarakat dan daerah masing-masing dengan berbagai pilihan model yang bisa dipilih dari beberapa model ini: bisa pilkada langsung, pilkada langsung dipersempit, sistem perwakilan DPRD, sistem perwakilan diperluas, dan bis juga dengan forum adat. Artinya tidak semata hanya pilkada langsung yang diterapkan seragam di seluruh daerah di Indonesia.
Menurut Ridwan Mukti, pilkada langsung telah memunculkan banyak kasus berupa konflik yang berujung kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia. Penyebabnya mulai dari politisasi birokrasi maupun politisasi anggaran hingga masalah netralitas penyelenggara pilkada, serta money politics. Pasca pilkada pun banyak meninggalkan masalah,misalnya, politik biaya tinggi atau mahal, banyak yang tersangkut korupsi, disharmoni dengan wakilnya, mayoritas berujung sengketa di peradilan hingga jebolnya benteng terakhir pilkada dengan tertangkap tangan ketua hakim konstitusi oleh KPK dalam kasus suap terkait pilkada, serta muncul penguatan politik dinasti petahana dan sebagainya.
Kemudian, menurunnya partisipasi warga negara dalam setiap penyelenggaraan pemilihan langsung baik pilkada, pemilu legislative maupun pemilihan presiden secara langsung, yang diakibatkan kejenuhan sebagai fenomena baru yang ditandai dengan menurunnya angka partisipasi atau tingginya angka golput. Menurut Ridwan Mukti, dewasa ini setiap warga negara Indonesia datang sembilan kali ke TPS untuk satu periode pemilihan, sehingga pantas semakin marak muncul gejala masyarakat individualis, transaksional dan materialistis. Sembilan kali ke TPS maksudnya pemilihan langsung presiden dua putaran, pemilihan legislatif satu putaran, pemilihan gubernur dua putaran, pemilihan bupati/walikota dua putaran dan pemilihan kepala desa dua putaran.
“Jadi implikasi pemilihan langsung one man one vote dengan menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan kesetaraan individu mengakibatkan semakin sulit bangsaIndonesia menemukan tokoh-tokoh masyarakat panutan yang merupakan refleksi kesadaran hukum masyarakat adat yang gotong-royong dan kekeluargaan baik yang tinggal di perdesaan apalagi di perkotaan,” kata Ridwan Mukti.
Dikatakan, pemilihan langsung kepala daerah juga telah menghasilkan kepemimpinan yang kurang bermutu di berbagai daerah. Sejumlah gubernur, bupati, walikota terpilih ternyatatida kompeten, ditandai dengan keterlibatan kasus hukum 295 kepala daerah dari 908 kepala daerah melalui 961 kali pelaksanaan pilkada langsung hasil pemilihan Juni 2005 sampai dengan Juni 2013. Kepala daerah yang konon pilihan rakyat tersebut tersangkut dalam sejumlah kasus hukum, dengan jenis teratas adalah korupsi dan suap sebanyak 89 persen. Itu sebabnya Adnan Buyung Nasution juga pernah mengatakan pemilihan kepala daerah secara langsung ini perlu ditinjau kembali.
“Sejumlah pakar mengatakan pilkada bisa menghadirkan ‘kutuk’ manakala money politics dijadikan tulang punggung partisipasi. Bahkan pilkada dapat menjadi bencana ketika politik marketing memanipulasi jati diri para kandidat pilkada. Bahkan ada konsultan marketing politik bisa menyiapkan brigade khusus untuk demo, berikut dengan jaringan untuk melakukan pembunuhan karakter kandidat lawan, dan bila perlu hingga terjerembab ke dalam penjara,” ujar Ridwan.
Itu sebabnya dia menyebut pilkada sudah dinodai dan oleh sebab itu aturan hukum yang mengatur pilkada semacam itu perlu ditelusuri hingga ke akar filsafatnya, yakni dengan meninjau kembali sumber dan dasar hukumnya sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Dikatakan Ridwan, konstitusi memang sudah mengatur permasalahan yang berkaitan dengan pilkada pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tapi, menurutnya, pasal tersebut tidak boleh ditafsirkan secara parsial karena tidak berdiri sendiri. Ridwan berpendapat, ada 16 pasal lain dalam pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan erat tidak boleh dipisahkan satu sama lain, yakni Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 37 ayat (5), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5) sampai dengan ayat (7), Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25A, Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 32 ayat (1).
“Kesimpulan terhadap17 pasal konstitusi tersebut mempertegas bahwa pemilihan system pilkada tidak ditujukan untuk melahirkan kultur masyarakat liberal individual kapitalistik, melainkan untuk mewujudkan kebersamaan dalam kekeluargaan masyarakat gotong royong. Terkonsep beragam, berkearifan lokal, tunggal ika dalam kebhinekaan, final dalam bingkai NKRI, serta memperkokoh kekuasaan pemerintahan presidensial,” katanya.
Dengan demikian aturan hukum pilkada sekarang ini jelas belum berfungsi sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka melakukan perilaku masyarakat untuk berubah ke arah penguatan asas-asas ke-17 pasal konstitusi tersebut menuju terbentuknya kultur masyarakat demokratis Pancasila.
Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan Ridwan Mukti dengan sampel 21 daerah yang meliputi 11 provinsi dan 10 kabupaten/kota di Indonesia, antara lain Jawa Barat dan Kabupaten Garut (dipilih sebagai perwakilan Sunda), DI Yogyakarta dan Sleman (Suku Jawa), Jawa Timur dan Surabaya (Suku Jawa dan daerah perwakilan), Aceh dan Kota Banda Aceh (Daerah istimewa), Sumatera Selatan dan Kota Palembang (Suku Melayu), Kepri dan Kota Batam (Suku Melayu), Kalimantan Tengah dan Kotawaringin Barat (Konfik pilkada), Sulawesi Tenggara dan Bau-bau (konflik pilkada), Bali dan Kabupaten Buleleng (Forum Adat), Papua dan Kota Sorong (Forum Adat).
Dua kesimpulan penting dari disertasi ini adalah: pertama, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ditafsirkan secara tidak tepat, parsial, dan restriktif oleh UU No32 Tahun 2004. Kedua, pengaturan pilkada seyogyanya dilakukan melalui suatu undang-undang yang bersifat pokok (payung) dan didelegasikan secara teknis kepada perda di tiap daerah provinsi atau kabupaten/kota. Selanjutnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pilkada di pusat maupun daerah didisain efisien dan efektif. (jo-1)
Tidak ada komentar: