PNS Naik Taksi Lebih Boros, Angkutan Umum dan Sepeda Lebih Efisien dan Pro-Lingkungan
Joko Widido naik sepeda hari ini. |
Walikota Jakarta Timur (Jaktim) Krisdianto bisa menjadi contoh. Hari ini, hari pertama penerapan instruksi gubernur DKI Jakarta soal pelarangan menggunakan kendaraan pribadi bagi pejabat maupun PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, dia malah mengeluarkan uang Rp191.000 hanya untuk perjalanan setengah hari.
Bayangkan dia berangkat dari rumahnya di Jatiasih, pertama menuju Balaikota DKI di Jalan Medan Merdeka Selatan. Menurutnya taksi menjadi pilihan karena dari rumah itu tidak ada angkutan umum atau busway menuju balaikota untuk mengikuti rapat. Sekali jalan ke sana habis Rp111 ribu.
Usai rapat di sini, dia kemudian meluncur ke kantornya di Jaktim. Ongkos yang harus dibayarkannya untuk taksi Rp80.0000. Total untuk perjalanan pagi hingga siang itu dia habiskan Rp191.000, belum termasuk nanti ongkos saat pulang dari kantor ke rumahnya.
Sebagai perbandingan, Krisdianto menyebut jika dia memakai kendaraan pribadi, uang senilai Rp200.000 itu bisa dipakai untuk bensin selama tiga hari.
Meski begitu, sang walikota mengaku senang dan mendukung instruksi gubernur. Buktinya tadi dia melihat sendiri jalanan memang tidak macet seperti biasanya.
Tapi apa yang keliru dari sang walikota? Pilihannya mungkin tidak tepat. Demi mengurai kemacetan dan mengurangi polisi udara yang diakibatkan emisi gas rumah kaca kendaraan bermotor, pilihan taksi ataupun ojek bukanlah pilihan bijak.
"Pilihan itu mungkin bagus mengurangi jumlah kendaraan yang melaju di jalan raya pada saat sibuk, tapi tidak cukup membantu untuk manfaat yang lebih banyak. Taksi, ojek atau kendaraan bermotor yang hanya berisi satu orang jauh lebih boros dan tidak ramah lingkungan. Kalau taksi membawa empat-lima orang mungkin lebih bagus, tapi lebih bagus lagi jika menggunakan kendaraan umum yang memuat lebih banyak orang," kata pengamat perkotaan Jones Sirait di Jakarta, hari ini.
Jika tidak ada angkutan umum termasuk busway yangdekat dengan rumah, penggunaan sepeda ataupun bus dinas pemkot bisa ditempuh, misalnya dengan mendata PNS yang paling berdekatan satu sama lain dan berangkat bersama.
"Saya menyarankan agar DKI membuat kebijakan yang komprehensif lagi, karena gagasan seperti ini sangat bagus, tapi tidak akan bertahan lama jika akhirnya muncul penilaian tidak efisien. Efisiensi bisa dihitung antara lain melalui hitung-hitungan bahwa kebijakan itu harus hemat dari sisi ekonomis dan juga emisi gas rumah kacanya didrop lebih rendah. Pemprov harus membuat hitung-hitungannya secara detail," kata Jones.
Dia pun menyinggung mengenai Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca yang ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 20 September 2011.
"Transportasi itu menyumbang sekitar 28 persen emisi gas rumah kaca. Langkah Jokowi ini sebaiknya juga dilihat dari sisi pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2020," sambungnya. (jo-2)
Tidak ada komentar: