Perlu Sinergi Pemerintah dan Non-Pemerintah Memperkuat UMKM

Para pembicara Seminar UMKM di Balai Kartini, Jakarta, pekan ini.
JAKARTA, JO- Untuk memperkuat usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di Indonesia perlu sinergi yang kuat antara pemerintah dan non-pemerintah. Di Indonesia sendiri semangat untuk membangkitkan UMKM sangat terasa sehingga perlu didorong dengan aksi nyata.

“Di Indonesia sangat terasa semangat untuk melakukan sesuatu demi kemajuan UMKM. Kita perlu dorong terus semangat untuk menghasilkan aksi nyata yang konkrit sehingga UMKM bisa tumbuh dengan berkelanjutan,” kata Erna Witoelar, mantan Dubes PBB untuk MDGs, dalam seminar “Sinergi Upaya Pemerintah dan Non-Pemerintah dalam Memperkuat Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)” di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (18/3) lalu.

Mantan menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah ini mengingatkan pentingnya sinergi kemitraan antarpemangku kepentingan dalam penguatan UMKM menuju kemakmuran Indonesia.

Seminar ini sekaligus peluncuran laporan penelitian pakar UMKM dan CSR Risa Bhinekawati tentang “Mekanisme Pemerintah dalam Mendukung UMKM: Pengalaman Australia yang dapat Disesuaikan dengan Konteks Indonesia”.

Selain Erna Witoelar dan Risa Bhinekawati hadir juga sebagai pembicara James Gilling (Kedutaan Besar Australia); I Wayan Dipta (Deputi Menteri UMKM); Dr Tulus Tambunan (Kepala Pusat Studi UKM Universitas Trisakti); Dr Stephen Sherlock (Ahli Regulasi dan Kebijakan Publik Australia); dan Henry C Wijaya (Yayasan Dharma Bhakti Astra).

James Gilling dari Kedutaan Australia, yang berbicara mengenai bagaimana komitmen dan kesungguhan pemerintah Australia dalam bidang private sector, mengatakan Australia tidak sekedar memberi dana tetapi benar-benar menunjukkan kepedulian terhadap persoalan private sector. Hal itu antara lain terlihat dari kesungguhan melakukan pendampingan kepada para pengusaha kecil.

James Gilling juga menyinggung bagaimana kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia dalam bidang pendidikan terutama pemberian kepedulian pemerintah Australia kepada private sector dan dunia pendidikan.

Tulus TH Tambunan dari Center for Industry SME and Business Competition Studies Universitas Trisakti memaparkan kajiannya mengenai ‘Kontribusi UMKM Indonesia dan Kesiapan mereja dalam menghadapi ASEAN Free Trade Agreement (AFTA)’. Menurut tulus, UMKM di Indonesia dihadapkan pada pertanyaan mampukah kelompok usaha tersebut bersaing atau bahkan bertahan terhadap semakin gencarnya barang-barang impor yang masuk ke pasar domestik? Kedua, mampukah UMKM Indonesia memanfaatkan peluang yang muncul dari diberlakukannya CAFTA dan nanti pada tahun 2015 ME-ASEAN, yakni untuk kesempatan memperluas pasar ekspor?

“Jika kita bisa memanfaatkan peluang tidak akan jadi masalah dan tantangannya bisa dalam berbagai aspek, misalnya, bagaimana bisa menjadi unggul di pasar dalam negeri, yakni mampu mengalahkan pesaing domestik lainnya maupun pesaing dari luar negeri (impor), bagaimana bisa unggul di pasar ekspor atau mampu menembus pasar di negara-negara lain,” kata Tulus.

Selain itu bagaimana usaha agar bisa berkembang pesat, misalnya skala usaha tambah besar, membuka cabang-cabang perusahaan; bagaimana penjualan/output bisa tumbuh semakin pesat; dan lainnya.

“Jika tantangan-tantangan tersebut tidak bisa dimanfaatkan atau dihadapi sebaik-baiknya, karena perusahaan bersangkutan menghadapi banyak kendala (misalnya, keterbatasan modal, teknologi dan SDM berkualitas tinggi), maka tantangan-tantangan yang ada bisa menjelma menjadi ancaman, yakni perusahaan terancam tergusur dari pasar.

Rasio Kewirausahaan


Sementara Deputi Bidang Produksi Kementerian Koperasi dan UKM I Wayan Dipta menjelaskan, Ratio Kewirausahaan di Indonesia hanya 1,63 persen. Dibanding dengan negara-negara tetangga ratio Indonesia sangat rendah.

“Singapura 7,2 persen dan Malaysia 5 persen artinya semakin tinggi tingkat ratio semakin tinggi juga tingkat kesejahteraan,” katanya.

I Wayan Dipta mengatakan bahwa Index Daya Saing Indonesia juga masih sangat rendah. Banyak masalah yang dihadapi UMKM diantaranya rendahnya tingkat pendapatan usaha mikro, legalitas usaha yang tidak memadai, terbatasnya kapasitas usaha mikro untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya dan sebagian besar 68,97 persen modal dari usaha mikro menengah masih bersumber dari pemilik modal.

“Terutama lemahnya kompetensi kewirausahaan dan lokasi usaha yang tidak pasti,” sambung I Wayan Dipta.

Dr Stephen Sherlock, ahli Regulasi dan Kebijakan Publik Australia memaparkan keadaan kondisi UMKM di Australia dan bagaimana hal tersebut bisa dipraktekkan di Indonesia, dan ini juga yang dipaparkan oleh Risa Bhinekawati.

Sedangkan Henry C Wijaya dari Yayasan Dharma Bhakti Astra memaparkan dalam bentuk video bagaimana Yayasan Dharma Bhakti Astra selama 34 tahun melakukan program CSR-nya dan telah membantu banyak orang dalam berbagai sektor. Dalam video tersebut sangat jelas apa yang dilakukan YDBA hanya semata-mata untuk kepedulian dan konsep berbagi nyata yang mereka miliki. Sehingga sampai sekarang YDBA senantiasa melakukan pembinaan kepada siapa saja yang berminat.

Menurut Henry C Wijaya, YDBA memiliki program yang harus dimanfaatkan para pelaku Industri UMKM. Diakhir paparannya Henry C Wijaya membacakan Puisi yang ditulisnya mengenai pentingnya berbagi, dan mendapat tepuk tangan yang meriah dari peserta seminar.

Sementara Risa Bhinekawati antara lain memaparkan, salam segi populasi UMKM itu sendiri sangatlah kompleks dan beragam; sehingga intervensi pemerintah haruslah memerhatikan kompleksitas dan keberagaman ini agar menjadi efektif. ”Di Indonesia mekanisme holistik untuk mendukung UMKM belum terbangun secara nasional. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, swasta, universitas maupun UMKM, namun upaya tersebut dapat diperkuat dengan peran pemerintah sebagai jembatan pemersatu,” kata dia.

Jika dilihat dari segi tujuan kebijakan untuk mengembangkan UMKM dan kewirausahaan seringkali semua berupaya mencapai tujuan yang sama di berbagai belahan dunia, namun jalan mencapai tujuan dapat berbeda. Di Indonesia Risa mengamati tujuan nasional untuk mendukung mendukung UMKM dan untuk melaksanakan PTSP belum terselaraskan. Kedua hal ini dikoordinir oleh dua institusi yang berbeda, yaitu BKPM dan Kementrian KUMKM; sistem keduanya belum terhubungkan. Di Australia tujuan kebijakan dalam mengembangkan UMKM dan menyelaraskan regulasi adalah untuk mencapai ‘ekonomi bebas hambatan’. Kebijakan ini didukung oleh berbagai institusi, seperti Dewan reformasi COAG, komisi produktivitas, komisioner usaha kecil, asosiasi pengusaha kecil.

Risa juga mengungkapkan fakta belum adanya kesamaan definisi tentang UMKM dan kewirausahaan. Di Indonesia skala UMKM Indonesia lebih kecil dibandingkan Australia. Permasalahannya lebih kompleks karena kapasitasnya sangat rendah, dan bergerak di sektor informal. Membutuhkan dukungan yang lebih besar dari pemerintah, swasta dan LSM. Australia sendiri UMKM-nya memiliki skalanya lebih besar daripada Indonesia. Namun UMKM didukung karena ukuran mereka yang ‘kecil’.

Kebijakan bisa membuat perubahan, namun perlu waktu dan perbaikan terus menerus agar kebijakan menjadi efektif. Di Indonesia lagi, Inisiatif dari pemerintah sangat tersebar; ada beberapa kisah sukses dari pemerintah lokal maupun dari sektor swasta. Pemerintah harus menjadi jembatan yang mempersatukan. Sedangkan di Australia dukungan kepada UMKM dilakukan secara sistematis dan menyeluruh, dalam siklus memulai usaha, menjalankan usaha, mengembangkan usaha dan bahkan dalam menutup usaha. kebijakan yang menyangkut intervensi untuk membangun budaya perusahaan merupakan salah satu area yang paling sulit dilakukan namun sangat berdampak.

Lagi, dalam pembuatan kebijakan banyak yang bersifat ‘ad-hoc’ (sementara) dan subyektif, dan belum tentu obyektif dan rasional. Di Indonesia Risa lihat kebijakan masih tersebar dan belum terkoordinir. Komitmen dan pemahaman pemerintah tentang pentingnya kebijakan publik demi kesinambungan ekonomi, lingkungan hidup dan sosial masihlah rendah. Australia sendiri memiliki komitmen untuk melakukan regulasi melalui mekanisme COAG dan rencana jangka panjang (20 tahun) dari pelaksanaan ABLIS mengurangi adanya kemungkinan kebijakan yang dilakukan secara ‘ad hoc’.

Risa Bhinekawati bahkan menganjurkan agar pemerintah harus stop buat undang-undang baru, tetapi harus inventarisir apa yang dibutuhkan oleh UMKM, dan dukungan terhadap UMKM harus terintegrasi dalam sistem nasional yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan lokal, baik on-line maupun off-line. Mekanisme kerjasama antarpemangku kepentingan dilakukan harus secara sistematis, terukur dan efektif. (jo-4)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.