Risa Bhinekawati pun Terharu Pembukaan UUD 1945, dan Kegigihan Linggo-Hadi Subroto
Risa Bhinekawati (kanan) saat memaparkan hasil disertasi doktornya soal CSR di negara berkembang. (foto:jo-4) |
Hal ini terlihat saat "Jumpa Pers Disertasi S3 Risa Bhinekawati dan Diskusi Kiat Sukses UKM Bermitra dengan Perusahaan Besar” yang berlangsung di Restoran Bumbu Desa, Jalan Cikini Raya No 72, Jakarta Pusat (Jakpus), Selasa (4/3).
Disertasi ini terkait keberhasilan Risa menyelesaikan program doktor di bidang CSR Management di Australian National University (ANU), dengan judul disertasi “To prosper with the nation: The social capital that bridges CSR programs and corporate sustainability in a developing country”.
Keterharuan itu muncul diawali dengan pertanyaan salah seorang wartawan yang menanyakan persoalan modal yang menjadi masalah bagi perkembangan UMKM saat ini. Menjawab pertanyaan itu, Palgunadi mengatakan, tidak semua dinilai dengan modal. Yang terpenting, begitu Palgunagi, adalah semangat pantang menyerah.
Palgunadi kemudian mengajak semua yang hadir untuk memikirkan arti kemerdekaan yang sesungguhnya dalam alinea pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang bebahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.”
Saat Palgunadi menjelaskan mengenai hal itu lah Risa terlihat terharu dan beberapa kali mengusap matanya.
Menurut Palgunadi lagi, setidaknya ada tiga sifat yang harus diwarisi meskipun tampak sepele, yakni: Pertama, harus ada sifat tidak mau menyusahkan orang lain. Kedua, janji tidak mau terlambat dalam pertemuan atau janji, dan ketiga, nikmati hari kebersamaan dengan keluarga.
Risa Bhinekawati menegaskan, dalam CSR tidak ada kepura-puraan. “Jangan pura-pura baik seperti yang dilakukan banyak perusahaan-perusahaan selama ini. Perusahaan harus instropeksi dan melihat secara jujur,” kata Risa.
Kejujuran perusahaan-perusahaan ini juga bisa dinilai dari segi ketaatan pajak mereka, apa mereka bayar pajak atau tidak. Sedangkan karena pemerintah memberikan keleluasaan kepada perusahaan-perusahaan berarti perusahaan harus mempunyai kejujuran.
Perusahaan, bagaimanapun menurut Risa, harus sehat. Kalau perusahaan ingin memajukan orang lain perusahaan tersebut harus benar-benar menjadi perusahaan yang punya komitmen yang tulus untuk memajukan UMKM. Kinerja manajemen harus dilihat dari strategi bisnis jangka panjang dan diintegrasikan pada akses industri yang berhubungan.
Kemudian harus ada trust yakni saling percaya seperti Astra yang mempunyai visi dan misi yang berkesinambungan sehingga banyak karyawan yang loyal terhadap Astra. Selanjutnya adalah rasa modal sosial yang akan membangun kesinambungan perusahaan.
Dalam jumpa pers dan diskusi ini selain Palgunadi, hadir juga Direktur Utama PT Aldi Wijaya Citra, dan Linggo Suprapto, dan Direktur Utama PT Nandya Karya Perkasa H Hadi Subroto.
Kisah Kegigihan
Linggo Suprapto dalam pemaparannya mengaku hanya tamatan STM, dan mengisahkan saat tidak lulus taruna Akabri karena tinggi badannya yang kurang. Dari kegagalan menjadi taruna ini, ia mencoba untuk melamar di PT Federal Motor (yang saat ini bernama PT Astra Honda Motor). Berkat keahliannya dalam bidang teknik, dia ditempatkan dibagian workshop dan karena ia dikenal sebagai pekerja yang rajin, jujur, ulet dan terampil, tahun 1985 dia mau dipromosikan untuk naik jabatan, namun tawaran tersebut tidak diterimanya.
Dia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dan bermaksud untuk membuka usaha bengkel teknik sendiri sebagai sub kontraktor tempat bekerja sebelumnya. Modal pinjaman untuk usaha tersebut berasal dari pinjaman bank dengan jaminan referensi dari Astra dan berbekal pengalaman di Astra dia merintis usaha bengkel teknik PD Wijaya yang berawal karyawan enam orang yang lokasinya di Komplek Industri SUIK (Sarana Usaha Industri Kecil) Pulogadung, Jakarta Timur.
Selama merintis usaha bengkel tersebut beliau masih menjalin hubungan bisnis yang baik dengan Astra dengan menjadi binaan Astra. Semangat pak Linggo ini membuahkan hasil sehingga ia berhasil menerima penghargaan Upakarti pada tahun 1992.
Linggo juga menceritakan bagaimana ia ditolong oleh Astra dari karyawan enam orang pernah sampai memiliki 1.000 karyawan, sampai keadaan sekarang mereka sudah memiliki asset sebesar Rp60 miliar.
Pertolongan Astra ini sangat bernilai sekali bagi Linggo terjadi saat krisis ekonomi dimana Astra bersedia melakukan pembayaran 80 persen di depan dan inilah bentuk kepedulian Astra kepada mereka.
Sama halnya dengan yang dilakukan Hadi Subroto. Kerjakeras, tekun, pantang menyerah dan tidak mengenal kata terlambat untuk memulai sesuatu itulah yang dilakukannya. Pendiri PT Nandya Karya Perkasa ini juga menceritakan pengalaman pahitnya ketika pada tahun 1967 bermodalkan cincin emas 5 gram milik istri, Hadi Subroto untuk pembuatan barang-barang perhiasan dari plastik dan kawat seperti tusuk konde, gelang dan lain sebagainya untuk dijual di Pasar Jatinegara.
Usaha tersebut menuai hasil yang cukup baik sehingga bisa membeli rumah kontrakan yang selama ini digunakan sebagai bengkel kerja. Dengan kegigihan serta didukung keahlian dalam membuat suatu barang maka PT National Gobel memberikan kesempatan sekaligus kepercayaan untuk membuat komponen kipas angin. Kemudian tahun 1987 mendapat kepercayaan dari PT Meiwa Indonesia untuk supply komponen rangka kursi kendaraan roda empat dan setelah itu mendapat kepercayaan PT Astra Honda Motor untuk pembuatan komponen aksessoris motor polisi.
Pada tahun 2002 Hadi Subroto terpilih mendapatkan penghargaan dalam “Semangat Wirausaha Indonesia”. (jo-4)
Tidak ada komentar: