Balada Hanura, Ketika Punya Stasiun Teve Banyak pun Enggak Efek

Partai Hanura
JAKARTA- Banyak orang terlalu cemas dengan media khususnya televisi yang dikuasai politisi. Sebab konon identik jika semakin banyak beriklan, semakin sering disiarkan ke publik maka semakin hebat suara bakal diraih dalam pemilu. Apesnya, dalam konteks Partai Hanura, rupanya teori itu tidak jalan alias mampet.

Ini tentu kalau kita mau percaya 100 persen dengan hasil quick count (hitung cepat) yang digelar sejumlah lembaga survei, yang antara lain menunjuk dengan konsisten posisi Partai Hanura hanya di nomor tiga paling buntut dari 12 partai nasional, dengan perolehan suara sekitar 5,50 persen.

Apa yang terjadi? Ada apa dengan televisi kita? Atau mungkin justru publik kita memang sudah tidak mempan lagi dirayu dengan iklan-iklan atau tayangan lipstik? Mungkin materi iklannya yang tidak tepat, atau malah orang yang diiklankan itu justru tidak tepat?

Apapun jawabannya, fenomena ini memang perlu diteliti para pakar komunikasi politik demi efektifitas kampanye di masa datang termasuk untuk mengubah persepsi yang ternyata salah bahwa media bukanlah segala-galanya. Kata Jim Morrison, "Whoever controls the media, controls the mind", ternyata tak sepenuhnya betul.

Tak cukup soal Hanura, lihatlah lagi Partai Nasdem dan Partai Golkar, dua partai yang bosnya juga punya televisi dan media massa lain. Mengapa mereka tidak bisa juara dalam Pemilu 2014 ini? Golkar faktanya tidak bisa juara satu padahal sebelum-sebelumnya, petinggi Golkar sangat yakin akan memenangkan pemilu atau seperti pernyataan yang acap disampaikan Aburizal Bakrie bahwa dirinya siap untuk menguningkan Indonesia. Hal yang didukung pula oleh propaganda yang disampaikan melalui survei.

Begitu pun dengan Nasdem meskipun jauh-jauh hari yakin masuk lima besar, namun kenyataannya hanya bisa mempersembahkan 6,90 persen, terlepas dari kenyataan bahwa sebagai partai baru partai ini masih layak untuk dipuji karena berhasil menempatkan diri di papan tengah meskipun hanya sedikit lebih baik dari Hanura.

Lalu kemana hubungan antara kepemilikan media dengan suara saat pemilu? Mengapa pula demi hasil yang tidak signifikan itu, seorang petinggi partai yang kebetulan jadi bos media harus memaki-maki pemimpin redaksi dan awak redaksi medianya?

If everything is amplified, we hear nothing, kata Jon Stewart.(sir jones)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.