Mau Kemana Golkar dan Aburizal Bakrie?
Partai Golkar |
Jika perhitungan akhir di KPU nanti Partai Golkar ternyata "hanya" menghasilkan 14,45 persen, maka jelas hal itu merupakan kemunduran. Alasannya karena pada Pemilu 2009 partai ini mampu meraih 15,15 persen meski tetap di posisi ranking 2. Selain itu disebut kemunduran karena pada saat partai-partai lain berhasil memperbaiki perolehan, Golkar malah berkurang pada pemilu yang hanya diikuti 12 parpol. Bandingkan dengan Pemilu 2009 yang diikuti 38 partai nasional, dan enam partai lokal di Aceh.
Pertanyaannya mau kemana Golkar dan ARB dalam peta pertarungan Pilpres 2014? Masihkah ARB akan nekat untuk maju? Atau akankah Golkar akan memilih berkoalisi dengan PDIP atau malah Gerindra, atau mengusung capres baru dengan merangkul partai-partai lain sebagai capresnya?
Menarik sekali, karena pagi-pagi atau pada hari hasil hitung cepat sudah dirilis sejumlah lembaga survei, ARB sudah mengatakan partainya akan tetap memelihara tradisi sebagai partai pemerintah, dengan mendukung siapa pun calon presiden yang akan memenangi Pilpres 2014. ARB memang tidak secara tegas mengatakan tidak akan maju sebagai capres tapi gejala-gejalanya memang seperti itu. Apa kata dunia jika dia tetap maju? Beberapa waktu lalu masih ada tersisa harapan ketika survei menunjukkan ARB sebagai capres punya elektabilitas rendah, sementara Golkar masih yang tertinggi. Sekarang fakta yang pahit menunjukkan bukan hanya ARB yang rendah tapi juga Golkar. Tidak heran kalau kemudian Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung langsung mengaitkan penurunan suara Golkar itu justru akibat tidak menjualnya nama ARB, meski hal itu masih perlu untuk diteliti lebih lanjut.
Nah, jika ARB tidak maju, lantas kemana Golkar akan berlabuh? Ke PDIP untuk mendukung Joko Widodo pada tahap awal ini akan sulit dibayangkan akan ditempuh Golkar. Coba lihat pagi-pagi sekali bekas petinggi Golkar yang kini jadi bosnya Partai Nasdem, Surya Paloh sudah menyatakan ikut PDIP untuk mencalonkan Joko Widodo. Masa iya, Golkar ikut gerbong Surya Paloh? Jadi masih sulit untuk membayangkan ARB juga akan berlabuh ke PDIP pada awal-awal ini. Bahwa nanti, katakanlah ketika Jokowi menang dan diajak untuk memperkuat parlemen, tentu saja Golkar akan senang hati. Itu jika diajak, jika tidak mereka akan gigit jari. Nah, feeling kita, dalam posisi sekarang Golkar dan ARB justru akan memilih untuk berseberangan dengan PDIP, dan kemungkinannya adalah mendukung Prabowo dan atau membuat koalisi baru dengan memajukan capres dari partai lain. Meskipun keduanya pilihan pahit dan punya risiko ARB akan digugat dari sisi internal.
Sebenarnya jika saja masing-masing di internal Golkar bisa berpikir tenang, posisi Golkar sebenarnya cukup strategis dalam adu strategi pilpres. Dia bisa menjadi "play maker" dalam menentukan koalisi baru atau koalisi ketiga atau "cluster baru", meskipun akan berkesan sebagai "pengganggu" baru dua arus besar yang sudah dalam kecepatan tinggi saat ini yakni PDIP dan Gerindra. Disebut pengganggu karena keberadaan koalisi ini biasanya sulit menang, tapi terkesan hanya akan menggerus suara yang satu dan menguntungkan yang lain. Gaya politik seperti ini kira-kira adalah "untuk apa menjadi pemimpin jika menjadi 'pengekor' juga bisa eksis".
Inikah yang akan dipilih Golkar? PDIP dan Gerindra sangat tahu dalam urusan Pilpres, Golkar itu bukanlah perahu yang solid. Begitu pun dengan partai-partai lain yang serba prakmatis. Jika itu yang dipilih Golkar maka sangat sulit untuk dibayangkan ARB akan tampil sebagai capresnya. Alasannya terlalu berisiko. Dalam posisi rival besar dan sangat serius seperti Prabowo dan Jokowi yang terbukti memiliki elektabilitas tertinggi, adalah bunuh diri untuk nekat mencapreskan diri. Paling aman jika mencari sosok lain, meski harus bonyok dimaki-maki internal Golkar lainnya. Katakanlah jika ARB berhasil membangun koalisi Golkar, Hanura dan satu-dua partai lain, misalnya PKS plus PBB dan PKPI.
Tapi ini pun sebenarnya mengandung risiko eksternal yang luar biasa hebat bagi Golkar. Misalnya begini, jika dua arus besar yakni PDIP (Jokowi) dan Gerindra (Prabowo) sama-sama membuat aturan tegas dan ketat misalnya jika partai tidak mendukung mereka maka tidak akan diikutkan dalam koalisi pemerintahan jika mereka menang. Tapi tunggu dulu, bukankah Golkar bagaimana pun, siapapun pemenangnya tetap akan dibutuhkan untuk memperkuat pemerintahan? Dengan raihan 14,5 persen suara pemilu legislatif, Golkar memang jadi kartu truf yang diperlukan siapapun partai atau capres pemenang Pilpres. Tapi dalam kondisi darurat apapun bisa terjadi, misalnya posisi Golkar digantikan PKB atau Nasdem yang sebelumnya berseberangan.
Dengan melihat pada angka-angka perolehan pemilu legislatif memang akan sangat nyaman bagi Prabowo misalnya untuk jauh-jauh hari merangkul empat partai ini yakni: Partai Demokrat, PAN, PPP dan Golkar, yang jika ditotal perolehan suaranya sudah mencapai lebih 50 persen. Jika Golkar memilih keluar dari poros ini, dan membentuk poros baru, maka akan memaksa Prabowo berhitung ulang dan mengubah irama. Meskipun Golkar punya alasan raihan suara mereka lebih tinggi daripada Gerindra pada pemilu legislatif, tapi kesan yang timbul akan sangat berbeda bagi Prabowo maupun Jokowi jika ternyata Golkar justru tidak memajukan capresnya sendiri yakni ARB.(sir jones)
Tidak ada komentar: