MK Hapus Kewenangannya Mengadili Sengketa Pilkada
Para pemohon yang menggugat kewenangan MK mengadili sengketa pilkada. (foto:MK) |
Dalam pembacaan putusan permohonan yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) itu, Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan,penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Pasal 236C UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945," ucap Hamdan.
Menurut Hamdan, MK akan tetap menggelar PHPU Kepala Daerah hingga ada UU pengganti.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiddudin Adams, MK berpendapat, dalam memahami kewenangan MK yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus kembali melihat makna teks, original intent, makna gramatika yang komprehensif terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Berdasarkan putusan tersebut, lanjut Wahiddudin, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara.
“Dengan demikian, jika memasukkan pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilihan umum sehingga menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan waktu yang berbeda-beda,” ujarnya.
Di samping itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menambahkansebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah dalam pertimbangan putusannya Nomor 1-2/PUU-XII/2014, tanggal 13 Februari 2014 sebagaimana telah dikutip di atas, kewenangan lembaga negara yang secara limitatif ditentukan oleh UUD 1945 tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh UU maupun putusan MK karena akan mengambil peran sebagai pembentuk UUD 1945.
Kemudian, mencegah adanya kekosongan hukum terkait dengan adanyan putusan ini, lanjut Patrialis, meski MK tidak berwenang mengadili dan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, namun tidaklah berarti bahwa segala putusan MK mengenai perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sejak tahun 2008 yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UU 12/2008 serta UU 48/2009, menjadi batal dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
“Berdasarkan Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”, sehingga semua putusan MK mengenai sengketa pemilihan umum kepala daerah adalah tetap sah,” katanya.
Patrialis menjelaskan untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah karena belum adanya UU yang mengatur mengenai hal tersebut maka penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah tetap menjadi kewenangan MK.
Dalam putusan tersebut, tiga hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, Arief mengungkapkan tugas dan kewenangan MK, seharusnya bukan hanya berusaha menemukan maksud dari pembentuk konstitusi, tetapi berusaha pula untuk menemukan makna yang dikehendaki oleh teks norma konstitusi itu sendiri untuk menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi di masa kini dan masa depan. Selain itu, MK juga mempunyai kewenangan untuk bisa menghidupkan konstitusi dari masa ke masa (the living constitution) untuk menghadapi berbagai tantangan yang tentunya akan berbeda pada tiap zamannya.
Sementara Anwar berpendapat apabila MK menyatakan diri tidak berwenang mengadili sengketa pilkada dengan pertimbangan tidak diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, seharusnya hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan penyelesaian sengketa pilkada pada tahun 2008. “Sebab hal tersebut menyangkut kewenangan mutlak yang dapat membawa akibat hukum tersendiri,” imbuhnya.
Sedangkan Fadlil menjelaskan Oleh karena sistem dan mekanisme rekrutmen pengisian kepala daerah adalah pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian di atas adalah perselisihan hasil pemilu (PHPU). Perselisihan hasil merupakan bagian daripada sistem. Perselisihan hasil sebagai sesuatu permasalahan sistem harus dapat diselesaikan. Untuk itu haruslah ada forum yang menyelesaikannya.
PHPU adalah perselisihan hukum konstitusi terkait dengan pemilu sebagai mekanisme dalam pelaksanaan hak konstitusional di bidang politik, khusunya hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be voted or to be candidate). Mahkamah Konstitusi merupakan penyelenggara peradilan sebagai forum penyelesaian perselisihan dengan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi.
“Oleh karena itu berdasarkan Pasal 24C ayat (1) maka MK berwenang mengadili PHPU kepala daerah dan dengan demikian maka permohonan Pemohon seharusnya ditolak,” tandas Fadlil. (jo-10)
Mengunjungi London? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya | Wisata ke New York? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya | Jalan-jalan ke Las Vegas? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya
Tidak ada komentar: