Ridwan Mukti: Perlu Kompromi Politik dengan Menerima Model Pilkada Tidak Seragam

Ridwan Mukti saat diskusi yang digelar PB HMI di Jakarta, hari ini.
JAKARTA, JO - Politisi Partai Golkar yang juga bupati Musi Rawas, Sumatera Selatan (Sumsel), Ridwan Mukti mengatakan perlu ada kompromi politik antara kelompok yang menghendaki pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan di DPRD dengan kelompok pro-pemilihan langsung.

Kompromi itu adalah mengembalikan kepada semangat konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 4 yakni pemilihan asimetris atau tidak seragam antara satu daerah dengan daerah lain.

"Artinya bisa dipilih dengan perwakilan di suatu daerah, dan bisa pilkada langsung di daerah lain. Hal ini sesuai keberagaman Indonesia, sehingga model pemilihan kepala daerah juga tidak seragam. Saya sendiri menawarkan lima model pemilihan. Itu sama-sama demokratis,"kata Ridwan Mukti.

Hal itu dikatakan Ridwan dalam diskusi bertajuk "Prokontra Pilkada Langsung" di Galeri Cafe, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu (10/9). Selain Ridwan Mukti, hadir juga polisi Partai Hanura Yuddy Crisnandi.

Lima model pemilihan yang ditawarkan Ridwan adalah sistem pemilihan langsung, pemilihan langsung dipersempit, sistem perwakilan DPRD, sistem perwakilan diperluas, dan melalui forum adat. Kelima model ini bisa diterapkan di masing-masing daerah di Indonesia sesuai dengan karakteristik daerahnya.

Hal itu berdasarkan disertasi Ridwan di Universitas Sriwijaya beberapa tahun lalu tentang Sistem Pemilihan Kepala Daerah Beragam di Indonesia. Termasuk berdasarkan pengalaman di lapangan setidaknya dalam mengikuti dua kali pilkada langsung bupati Musi Rawas dan sekali saat pilgub Sumsel.

Dari pengalaman itu, Ridwan mengungkapkan praktik pilkada yang terjadi sejauh ini membuat dirinya terbilalak. Selain menyuburkan kultur kapitalistik, juga membuat tatanan sosial yang gotong-royong menjadi tergerus. Antara tetangga bermusuhan, antara santri dan kiai sudah tidak akur, semua diukur dengan uang. Siapa yang kalah tidak tinggal lagi di kampung itu. Akibatnya orang-orang hebat tidak ada lagi di daerah, diganti dengan tauke-tauke.

"Saat ikut pilgub sumsel dua tahun lalu, mata saya terbilalak tingkat pemilih yang transaksional di Sumsel semakin meningkat. Saat kita susun UU No 32 tahun 2004 itu tidak tergambarkan kondisi lautan ternyata bisa manis kalau dibawa gula sebanyak-banyaknya," kata mantan anggota DPR RI ini memberikan gambaran.

Sebenarnya, begitu Ridwan Mukti, praktik pilkada tidak seragam sudah berlangsung selama ini. Misalnya di DKI Jakarta, untuk gubernur dipilih langsung dan walikota dan bupati ditetapkan. Di DI Yogyakarta, gubernur justru ditetapkan sedangkan bupati dan walikota dipilih langsung. Di Papua ada sistem noken, dan berbeda juga di Aceh. Sehingga ruang untuk tidak seragam itu sudah ada.

Ridwan Mukti juga berpendapat keliru kalau mengatakan pilkada meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Buktinya, Indeks Demokrasi Global menunjukkan Indonesia baru di hybrid regime atau sedikit di atas authoritarian regime belum masuk ke tataran democracy full. Hal itu sudah terjadi awan reformasi dan kondisi sama terjadi sekarang sejak berlangsungnya pemilu langsung.

"Jadi bukan pada pilkada untuk meningkatkan demokrasi kita. Pilkada yang sesungguhnya adalah yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi bangsa, bukan hanya transaksional," katanya.

Sementara itu, Yuddy Crisnandi, argumentasi yang disampaikan selama ini untuk menolak pemilihan langsung adalah argumentasi emosional.

"Bagaimana mereka merumuskan demokratisasi? Kalau hari ini pilihannya ke DPRD kenapa tidak diserahkan saja kepada presiden untuk memilih? Tentu mereka tidak mau diilih presiden karena presidennya Jokowi. Jadi ini semua emosional," katanya.

Sekalipun kelompok Koalisi Merah Putih menginginkan kembali seperti era Orde Baru itu dinilainya tidak salah, tapi semangat reformasi tidak elok dan mendegradasi keinginan rakyat. "Demokrasi harus terus berjalan ke depan bukan dengan melawan kehendak perubahan," kata Yuddy.

Yuddy juga menyebut persoalan ini hanya upaya menjegal pemerintahan baru Jokowi-JK karena mereka mengira akan berdampak di daerah sehingga mereka mampu menguasai kekuasaan lokal.

"Dengan kekuatan 65 persen mereka di DPR mereka menganggap ratusan kepala daerah tidak jadi pilkada langsung, dan mereka bisa menang mudah di pilkada, tapi kita ingatkan ini bisa mengakibatkan ekses instabilitas baru. Kalau niatnya seperti itu jelas kontraproduktif dengan kehendak rakyat, dan jangan salahkan jika rakyat nanti yang bergerak ke DPR," sambung Yuddy. (jo-2)

Mengunjungi London? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya | Wisata ke New York? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya | Jalan-jalan ke Las Vegas? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.