Brigjen Pol Anton Charliyan
JAKARTA, JO - Kasus 16 warga Negara Indonesia (WNI) yang ditahan otoritas Turki dianggap berbahaya bagi Indonesia, karena diduga hendak menyeberang ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok Islami States of Irak and Syria (ISIS). Pemerintah Turki berencana mendeportasi ke 16 WNI itu, namun banyak kendala yang harus terlebih dahulu diselesaikan Pemerintah Indonesia terkait pemulangan WNI tersebut.

Di sisi lain, pemerintah tengah berupaya menghadapi fenomena WNI yang mendukung dan hendak bergabung dengan ISIS. Pemerintah mengkaji formulasi produk hukum untuk mengatur sanksi pidana bagi para pengikut kelompok radikal, khususnya terkait pendukung ISIS.

Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Anton Charliyan mengatakan di Jakarta, Kamis (19/3), perlu ada peraturan yang mengatur pemidanaan bagi pengikut kelompok radikal di Indonesia. Hal ini penting untuk mencegah timbulnya tindak pidana oleh kelompok radikal tersebut.

Anton menyebutkan saat ini perangkat hukum yang mengatur penanganan kelompok radikal di Indonesia belum sempurna. Anggota kelompok radikal baru dapat dipidana, jika melakukan tindakan pidana. Misalnya melakukan pembunuhan, penyanderaan, perakitan bom, kepemilikan senjata, padahal kelompok radikal berpotensi melakukan tindakan terorisme lebih jauh.

“Untuk jangka panjang perlu ada revisi dalam peraturan perundangan yang mengatur tindak pidana terorisme,” kata Anton.

Peraturan yang diusulkan direvisi seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Organisasi Masyarakat, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat. Revisi peraturan tersebut dimaksudkan menjerat pengikut ISIS di Indonesia dengan hukuman pidana. (amin)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.