Pegiat Antikorupsi Rentan Dapat Ancaman dan Butuh Perlindungan

Ilustrasi
JAKARTA, JO- Tim dari Human Rights Working Group (HRWG) mencoba menyusun sebuah standar prosedur perlindungan internal bagi para pegiat antikorupsi, karena dinilai sangat rentan dengan ancaman, layaknya saksi dan korban dalam kasus-kasus korupsi.

Mendiskusikan hal ini, tim HRWG terdiri dari M Hafiz didampingi Astrid Maharani dan Theresia Joice berdiskusi dengan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu didampingi sejumlah tenaga ahli dan staf di kantor LPSK, Jakarta, Kamis (4/11).

Pada pertemuan itu, tim HRWG menyampaikan hasil kajian situasi ancaman dan sistem perlindungan pegiat antikorupsi di lima wilayah di Indonesia, seperti Jakarta, Banten, Malang, Samarinda dan Makassar.

Hafiz dari HRWG mengungkapkan, dari kajian di beberapa daerah, pegiat antikorupsi rentan mendapatkan ancaman, intimidasi bahkan dilaporkan balik oleh orang-orang yang merasa dirugikan oleh aktivitas pegiat antikorupsi sehingga dibutuhkan sebuah standar prosedur agar bisa dilindungi.

“Tapi, sulit (pegiat antikorupsi) menjadi subjek perlindungan LPSK, karena mereka bukan saksi atau korban,” kata Hafiz.

Berangkat dari kesulitan itulah, menurut Hafiz, pihaknya datang ke LPSK dan bertukar pikiran mengenai peluang membuat sebuah standar operasional prosedur internal yang bertujuan melindungi para pegiat antikorupsi dalam melaksanakan aktivitasnya.

“Kita mencoba bekerja sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya dalam memaksimalkan peranan dan fungsi perlindungan Komnas HAM terhadap pegiat antikorupsi di Indonesia,” tutur dia.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengaku memahami keresahan yang dirasakan para aktivis antikorupsi. Dan, bagi LPSK sendiri, kasus korupsi memang menjadi salah satu tindak pidana prioritas. Hanya saja, saat berbicara masalah perlindungan bagi pegiat antikorupsi, berangkatnya bukan dari kasus korupsi yang mereka advokasi, melainkan dari kasus pidana atau ancaman yang diterima.

Sebelum ke Yogyakarta, Cek Dulu Tarif Hotel dan Ulasannya Ke Bandung? Cek Dulu Hotel, Tarif dan Ulasannya Disini Cek hotel di Lombok, bandingkan harga dan baca ulasannya Liburan ke Surabaya? Cari hotel, bandingkan tarif dan baca ulasannya Cek hotel di Parapat, Danau Toba, bandingkan harga dan baca ulasannya

“Ada contoh beberapa kasus, seperti penembakan aktivis antikorupsi di Bangkalan, atau penganiayaan terhadap Tama Langkun beberapa waktu lalu,” ungkap Edwin.

Namun, kata Edwin, yang menjadi pertanyaan saat ini, bukan saja bagaimana melindungi para pegiat antikorupsi ini, tetapi juga bagaimana mengakhiri kasus yang menimpa mereka. Sebab, ujar dia, dari beberapa kasus yang terjadi, para pelaku kekerasan terhadap pegiat antikorupsi ini terkesan mendapatkan impunitas dan kasusnya dibiarkan tanpa diusut.

“Dalam peraturan perundang-undangan, belum ada penjelasan tentang posisi aktivis, bukan saksi, bukan pula pelapor, sehingga tidak ada posisi hukumnya,” kata Edwin.

Selain itu, menurut dia, dari upaya perlindungan yang diberikan LPSK, ada konsekuensi yang harus disadari, di mana siapa yang menjadi terlindung sudah tidak leluasa lagi dalam bertindak, seperti berbicara ke media massa atau pihak-pihak lain. Nah, dalam konteks perlindungan yang dilakukan LPSK, semua berorientasi pada keselamatan terlindung sendiri dan menghindarkan mereka dari upaya kriminalisasi dari pihak lawan.

“Tapi, terkadang teman-teman aktivis sulit menerima kondisi seperti ini karena ada hak-hak mereka yang dibatasi,” kata Edwin. (jo-2)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.