Mencari Tempat Hidup yang Aman dari Ancaman Alam dan Peran Ilmu Budaya
Dr Taqyuddin, SSi, MHum |
Geograf dan arkeolog, anggota Ikatan Geograf Indonesia dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
Email: taqygeo@gmail.com, HP 087770008045
TULISAN ini bermula dari diskusi dengan Dr Idwan Suhardi, seorang teman dosen Geosicence pada sore hari akhir tahun 2018 di kampus Geografi FMIPA-Universitas Indonesia (UI). Awalnya diskusi tidak formal itu membicarakan bencana yang beruntun di tahun 2018, kemudian berlanjut membahas implementasi teknologi untuk mendeteksi akan datangnya ancaman (hazard) dari alam. Diskusi yang tidak panjang itu berujung pada pemahaman, sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat bukan alat-alat canggih. Alat-alat canggih dan mahal itu yang membutuhkan adalah ilmuan dan para pengambil kebijakan untuk membuat rasa aman masyarakat yang tingga di wilayah yang sering terancam. Kebutuhan akan teknologi ini juga yang membuat kebutuhan anggaran penanganan bencana semakin mahal, sementara kemampuan untuk menyediakan anggaran juga terbatas. Sebut saja mengenai keluhan yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terhadap anggaran Rp700 miliar pada tahun 2019, apalagi pada tahun-tahun sebelumnya BNPB pernah mendapat anggaran hingga Rp2 triliun. Tapi meskipun misalnya teknologi bisa kita beli, apakah kemudian ancaman akan terhenti menjadi bencana? Tentu alam yang menjawab.
Pertanyaannya apakah betul bahwa penanganan bencana hanya menjadi arena ilmuan alam dan teknologi saja? Pemerintah pusat harusnya berani menjawab dengan tegas “tidak”. Jawaban ini akan banyak mendapat kritik dari pakar-pakar bencana dari sisi ilmuwan alam dan ilmuwan teknologi tentunya. Teknologi canggih boleh dikatakan sebagai alat bantu (tools) manusia. Dengan logika sederhana, semoga semua pihak bisa memaklumi, ketika suatu fenomena dikatakan bencana ketika ada korban jiwa manusia, atau manusia dirugikan harta benda atau hancurnya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jika tidak ada korban sudah tentu dianggap sebagai fenomena alam saja keberadaan manusia dan kerugian yang diterima manusia barulah didefinisikan sebagai bencana.
Dengan demikian unsur manusia menjadi krusial dalam hal ini. Di sinilah letak benang merahnya bahwa kebutuhan ilmu pengetahuan tentang manusia yang bisa dan dilibatkan memberi masukan dalam antisipasi ancaman. Ilmu pengetahuan tentang manusia tidak lain tidak bukan ilmu pengetahuan budaya atau manusialah yang berbudaya. Herannya para pengambil kebijakan terkontaminasi mengkerdilkan peran ilmu pengetahuan budaya (Arkeologi, Antropologi, Etnografi, Sejarah, Linguistik, Sosiologi, Psikologi, human Geografi dan lain-lain) dalam kaitannnya dengan bencana yang terjadi di Indonesia.
Ilmuan budaya sangat perpeluang ikut ambil bagian dalam menentramkan masyarakat dan bahkan mampu juga memberikan solusi untuk menghindari (bukan menghadapi) ancaman alam tersebut. Sinergi ilmuan alam dan ilmuan budaya bersama masyarakat segera melakukan pembelajaran bersama yaitu pembudayaan menghindari ancaman. Karena Ancaman yang sudah menjadi bencana siapapun manusia tak sanggup menghadapinya. Menghindarpun kadang dalam rangka meminimalisasi korban dan kerugian manusia. Arena masing-masing sangat jelas; ilmuan alam mendeteksi ancaman dan merekonstruksi fenomena alam yang sudah-sedang terjadi (kalaupun bisa mendeteksi yang akan terjadi akan lebih baik), tetapi ilmuan budaya selayaknya tak henti-hentinya menyuarakan pembudayaan menghindari ke tempat yang relatif paling aman di wilayah masing-masing.
Akar permasalahan bencana yang memberikan dampak negatif kepada manusia yang sering terjadi di bumi Indonesia tidak lain tidak bukan adalah permasalahan lokasional (sangat geografis), keberadaan tempat hunian yang berada di lokasi-lokasi sumber ancaman. Hal ini dapat dikatakan dalam perjalanan sejarah mengorbankan manusia (penduduk/masyarakat) Indonesia oleh alam dapat belajar dari kiasan tentang keledai yaitu “hanya keledai yang jatuh ke lubang kedua kali”, dan manusia dengan budayanya hendaknya tidak menempati lokasi yang mengancam (mengorbankan/merugikan) kedua kali. Sinergi pengambil kebijakan membuat regulasi, fasilitasi dan budgeting dengan para pihak sangat dibutuhkan.
Pelajaran ini sayangnya dianggap sebagai kiasan saja. Proses adaptasi manusia di alam Indonesia ini setidaknya 40.000 tahun (BC), dan adaptasi yang panjang itu pada akhirnya banyak tinggalan yang memberikan tanda bahwa mereka mendapatkan tempat yang paling aman di antara tempat-tempat di sekitarnya. Mereka hanya mengandalkan teknologi sederhana tetapi adaptasi ribuan tahun. Tanda-tanda itu masih bisa dibuktikan hingga kini, meskipun hanya dijadikan situs, kawasan situs, cagar budaya) khususnya lokasi-lokasi prasejarah (arkeologis). Para arkeolog hingga kini banyak merekonstruksi tinggalan-tinggalan yang menunjukkan perjalanan panjang peradaban hunian, hingga stratigrafi budayanya dari mulai berburu, menetap dan bercocok tanam hingga meramu dan sampai masa perundagian).
Nilai dan makna apa yang dapat direfleksikan dari hasil rekonstruksi stratigrafi budaya yang sangat berlapis budayanya itu? Jawaban pertanyaan ini tentunya dapat mengantar peran budaya (arkeologis prasejarah) dapat menunjukkan lokasi-lokasi ruang (space) atau tempat (place) yang terbukti berlanjut kehidupan adaptifnya sebagai ruang hunian yang aman. Temuan tempat ini saat ini terbukti ditinggalkan oleh masyarakat modern. Pendukung budaya prasejarah sudah menunjukkan bukti bahwa bangunan, karya berupa gambar dinding goa/lukisan cadas/rock art, dolmen. Menhir, batu gede, watu liman, punden berundak dan apapun sebutannya; itu semua bermakna sebagai bukti perjalanan panjang adaptif mereka yang masih bisa dilihat hingga jaman bencana ini dan tanda-tanda itu masih berdiri kokoh.
Mungkin ada yang bertanya apa kaitannya dengan Ilmu Linguistik dengan menghindari bencana? Bagi masyrakat linguistik yang fokus pada kajian toponimi, kajian kosa kata daerah terkait dengan ancaman alam tentu akan jelas jawabannya. Banyak daerah di Indonesia penamaan suatu tempat (toponim) merupakan representasi budaya berbentuk penamaan tempat sebagai peringatan/pesan pengetahuan dan pengalaman akan fenomena alam yang terjadi (adanya ancaman).
Ketika Donggala menjerit karena gempa dan tergulung likuifaksi (tanah yang menjadi cairan berat kehilangan kekakuannya alias lentur), penulis dengan beberapa teman arkeolog tengah penelitian di situs Leang-leang, Kelurahan Leang-leang, Bantimurung, Maros, Sulawesi Selatan, tidak merasakan adanya ancaman dari gempa, meski dalam satu Pulau Sulawesi yang jaraknya tidak jauh dan sama-sama di sisi pantai barat. Kami hanya mendengar informasi dari berita dan dari komunikasi hand phone keluarga dan teman-teman yang menghawatirkan kami menjadi korban. Di Leang-leang ini terdapat lebih dari 40 goa hunian purba yang masih menyimpan tanda-tanda gambar cadas dan temuan dari petak-petak gali ekskavasi yang menunjukkan angka tahun hasil analisis dating yang lama dan hingga kini masih bertahan dan dapat dikunjungi untuk dilihat. Tapi mengapa pembangunan oleh pemerintah menjauh dari tempat-tempat ini (di tempat yang tidak tahu ada ancaman atau tidak ada ancaman). Hampir semua pertumbuhan kota mendekat ke pantai dan pembangunannya bermewah-mewah bahkan menghancurkan wilayah karst, untuk bahan material bangunan, jalan, gedung dan lain-lain di kota.
Apakah ini pelajaran yang baik dan benar? Mengapa kita menuju tempat yang belum jelas aman dan bahkan menghancurkan tempat yang sudah terbukti aman ratusan abad? Bagaimana di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, NTT/B, Maluku dan Papua? Di mana tempat-tempat yang ada tanda proses adaptif nenek moyang tersebut.
Masyarakat memerlukan tempat-tempat yang aman atau diamankan untuk beraktifitas dan untuk melanjutkan kehidupan keturunannya di bumi Indonesia ini. Belajar dan belajar menghadapi fenomena alam terus menerus tidak bisa dihentikan. Bagaimana mengambil pelajaran sejarah peristiwa itu, untuk tetap bisa melangsungkan hidup di wilayah yang berpotensi ada ancaman alam, untuk mengurangi korban dan kerugian? Konsep-konsep penanggulangan bencana sudah sangat bertumpuk, tetapi konsep mencari wilayah aman (adaptasi panjang perjalanan budaya) seakan ikut terkubur likuifaksi. Itu yang selayaknya diperdebatkan secara rinci, detail dan sistematis. Mempelajari wilayah aman dengan detail, maka wilayah-wilayah tidak aman akan termasuk di dalamnya.
Bukti-bukti hunian berlanjut diantaranya: lukisan Pettakere Sulawesi, meski lukisan itu no title, no caption tetapi mengandung pesan yang dalam untuk kehidupan berlanjut umat manusia dalam menghindari gejolak alam sekitarnya. Bukan hanya dibanggakan, dilindungi, dijaga (direkonstruksi) tetapi perlu diangkat nilai-nilai budaya yang direfleksikan dari manusia pendukung budaya masa lalu untuk manusia kini. Bagaimana dengan Situs Sepe di Kecamatan Lore Barat? Bagaimana wilayah Kalamba situs Suso di Lembah Bada? Bagaimana wilayah situs Watunongko di Lembah Napu, Sulawesi. Bagaimana dengan situs Goa Harimau di Baturaja, Sumatera Selatan? Bagaimana dan mengapa masyarakat Badui menempati sekitar Arca Domas?. Mengapa Kerajaan Banten membangun Benteng di Serang (sisi pantai Utara Banten bukan menghadap selat Sunda? Masih banyak contoh lainnya.
Untuk menjawab pertanyaan itu, sangat tidak mudah, tetapi itu pelajaran yang dituntut oleh masyarakat Palu, Sigi dan Donggala. Jika ingin terhindar dari ancaman alam mungkin bisa dilakukan dengan cepat, dengan prinsip jauh-jauh dari pantai, Jadi adakah tempat yang aman untuk melangsungkan hidup di daerah ini? Hipotesisnya bisa: 1. Ada 2. Tidak Ada. Menjadi tugas akademik untuk meneliti secara transdisiplin, tidak cukup lagi hanya dikerjakan oleh salah satu disiplin atau hanya multidisiplin.
Jadi pertanyannya kemudian harusnya: Apa saja yang dilakukan jika “ada tempat yang aman” untuk melangsungkan hidup? Apa saja yang dilakukan jika “tidak ada tempat yang aman” untuk melangsungkan hidup? Mempermasalahkan ada dan tidak ada tempat aman dari ancaman alam di NKRI yang dominan yaitu ancaman vulkanisme, ancaman gempa dan ancaman iklim.
Faktanya di media massa maupun media sosial selalu diberitakan wilayah-wilayah bahaya, ancaman, bencana, bahkan hingga detail informasinya. Apakah wilayah bahaya, bencana, ancaman menjadi tujuan pembangunan hingga sedetail itu, tentu tidak, tetapi mengapa waktu tersita, dana tersita, tenaga tersita untuk sibuk yang bukan tujuan pembangunan. Seakan-akan “cari saja sendiri kalau mau aman hidup di Indonesia”. Bukannya amanat pendiri negara berkeinginan berperikemanusian, perikeadilan, terlindung, bebas merdeka, cerdas, tertib dan damai, makmur dan sejahtera, inilah narasi yang dipilih dan diimplementasikan sedetail-detailnya sebagai cita-cita kedepan (variable continue), mengapa disibukkan dengan variabel-variabel discontinue yang tidak dinarasikan dalam tujuan pembangunan?
Jadi menurut saya, masyarakat perlu pentradisian atau pembudayaan dalam menentukan hidup yang aman di wilayah yang memang berpotensi ada ancaman. Layaknya masyarakat modern ketika berkendaraan dengan pesawat atau kapal laut seluruh dunia, petugas tidak segan-segannya selalu memberi peringatan baik melalui pramugari/a kapal laut atau kapal udara, peragaan penggunaan life jacket, saluran oksigen, saat pendaratan di air, membuka pintu darurat, dan seterusnya. Anggap saja Indonesia ini adalah bahtera besar dengan penumpang 250 juta orang, tentunya membutuhkan keserempakan dari berbagai elemen untuk bergantian mengingatkan secara rutin tiap pelaksanaan rutin di sekolah-sekolah, kantor-kantor, dan perusahaan-perusahaan, dan lainnya. Misal di sekolah usia dini, sekolah dasar dalam kelas piket bergantian menyampaikan peringatan bahwa siswa dan guru harus diingatkan terus-menerus setelah memimpin doa mau belajar. Proses pentradisian dan pembudayaan saling mengingatkan menjadi kewajiban untuk hidup aman dan berlanjut.
Di luar itu semua, saat ini peristiwa alam yang memberi pelajaran kepada penghuninya perlu dipelajari dan dilakukan pendataannya. Tidak lain tidak bukan hal ini adalah bagian dari perhatian untuk mendukung menemukan pengetahuan, pemahaman fenomena alam yang menenteramkan yaitu menemukan tempat-tempat yang aman untuk melangsungkan hidup dan melanjutkan pembangunan.
Kesimpulan dan Saran
1. Dalam hal antisipasi bencana, para pihak yang terkait bukan hanya berkutat soal lokasi "rentan bencana" dan mitigasinya, tetapi lebih baik sibuk dengan parameter-parameter untuk mendeliniasi kawasan aman.
2. Di situs BNPB, sebaiknya di sana ada Hasil Kajian BNPB tentang Rentan Bencana Indonesia (RBI).
3. Parameter rentan bencana yang digunakan sangat bernuansa fisik, bahkan ada estimasi kerugian ekonominya. Padahal sejatinya bencana alam itu menjadi ribut bila yang terkena dampaknya adalah jiwa manusia. Artinya bencana alam itu selayaknya juga dipandang sebagai bencana sosial.
4. Sepertinya tidak ada teknologi yang bisa menghambat atau mengurangi terjadinya bencana alam, tetapi upaya manusia hanya bisa mengurangi terjadinya bencana sosial. Sungai-sungai di Kalimantan dan Papua itu sering banjir, tapi jauh dari kerumunan manusia, sehingga tidak dicatat sebagai bencana alam.
5. Jadi bukan hanya sibuk dengan catatan fenomena bencana alam (ini perlu tapi belum cukup), tetapi (cukupnya itu) bagaimana kita wajib sibuk untuk mengurangi peristiwa bencana sosial. Inilah kepedulian habluminanash.
6. Jadi poinnya adalah: logika fenomena kontinyu dan diskontinyu; tidak cukup pada kajian fisik fenomena bencana alam (RBI) dan harus dikoreksi juga dengan parameter sosial budaya, tetapi bagaimana upaya mengurangi bencana sosial; kemudianbagaimana sinerji para pihak (kelembagaan sosial) untuk mencegah bencana sosial.
Depok, 2 Januari 2019
Tidak ada komentar: