Lindungi Anak dan Hentikan Praktik Anak yang Dilacurkan
Kantor LPSK |
Pada rapat terbatas awal Januari (9/1/2020) lalu, Presiden Joko Widodo memberi perhatian penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Dalam kesempatan itu Presiden memperhatikan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terus meningkat. Presiden meminta agar prioritas aksi pencegahan kekerasan pada anak melibatkan keluarga, sekolah dan juga masyarakat.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu berpendapat, kekhawatiran Presiden ini beralasan, karena belum lama ini publik dihentakkan dengan eksploitasi seksual anak yang terjadi di sejumlah daerah.
“Misal, di Lampung Timur, seorang petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) malah menjadi pelaku persetubuhan terhadap anak korban yang ia dampingi, bahkan terindikasi terjadi praktek dagangan seksual anak” ujar Edwin dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Edwin menambahkan peristiwa lain juga terjadi di Jakarta, seorang warga negara Perancis diduga melakukan pengambilan gambar vulgar terhadap 305 anak perempuan dan menyetubuhi para korbannya. Pelaku berakhir bunuh diri di tahanan polisi. Di Kutai Barat, Kalimantan Timur seorang oknum PNS guru terlibat dalam perdagangan seksual anak.
Menurut Edwin, informasi yang disampaikan Perwakilan United Nations Children's Fund (UNICEF) Indonesia pada 2004, bahwa setiap tahunnya, kurang lebih 70 ribu anak-anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual masih relevan hingga saat ini.
Edwin membeberkan sejumlah catatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dimana setidaknya sejak 2016 hingga Juni 2020 ini ada 926 permohonan perlindungan terhadap anak yang masuk ke LPSK.
“Asal permohonan tertinggi dari Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta, lalu Sumatera Utara. Sebanyak 482 diantaranya adalah korban kekerasan seksual, 133 anak menjadi korban perdagangan orang dan sisanya dari berbagai kasus yang menempatkan anak menjadi korban. 106 anak menjadi korban eksploitasi perdagangan seksual’ kata Edwin.
Masih kata Edwin, berdasarkan asal korban, LPSK mencatat anak yang dilacurkan (AYLa) banyak yang berdomisili dari Jawa Barat, diikuti Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Sementara berdasarkan locus delicti AYLa, DKI Jakarta berada di tempat teratas diikuti Jawa Timur, dan Jawa Barat. Untuk tingkat pendidikan, sebagian besar AYLa tidak menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun, bahkan ada yang tidak menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD).
“Pada umumnya, AYLa yang ingin bekerja, mendapatkan informasi pekerjaan dari teman, media sosial, kerabat dan agen/perekrut. Di mana pada awalnya mereka dijanjikan bekerja sebagai pramusaji cafe/restoran, pemandu lagu karaoke, penjaga toko dan lainnya dengan janji penghasilan yang memadai” Edwin menambahkan.
Edwin menjelaskan, pada kenyataannya mereka dieksploitasi pada saat bekerja. Saat menjadi AYLa, anak-anak itu dipekerjakan 10 jam/hari, bahkan hingga 16 jam/hari. Dalam 1 hari mereka bisa melayani 10 tamu, mereka dijanjikan penghasilan Rp1 juta hingga Rp20 juta/bulannya atau Rp250 ribu hingga Rp2 juta/tamunya.
“Namun jauh panggang dari api, diantara mereka bahkan tidak mendapatkan upah sama sekali. Bahkan Mereka juga dipaksa untuk meminum pil KB atau obat kontrasepsi sehingga dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa terhalang siklus menstruasi” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan bahwa AYLA sebetulnya telah menjadi keprihatinan dunia internasional. Pada tahun 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak (pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Asasi Anak).
Indonesia, kata Livia, telah meratifikasi konvensi tersebut pada 1990. International Labour Organization (ILO) pada 1999 menelurkan konvensi mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Konvensi ini juga telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2000, yang kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Menurut Livia, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak. Bahkan pada tahun 2016, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk merespon maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan menambah ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup, atau hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Ini termasuk hukuman tambahan lain yang melahirkan kontroversi, antara lain pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
“Sayangnya, perhatian Presiden terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak belum diiringi dengan kecukupan anggaran bagi pelaksanaan perlindungan anak” kata Livia.
Livia menambahkan, fakta yang lebih memprihatinkan adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Provinsi/Kabupaten/Kota tidak diberikan anggaran yang cukup untuk menangani kasus-kasus kekerasan.
“Masalah yang sering ditemui adalah anggaran yang kecil dan SDM dengan kompetensi yang kurang” pungkas Livia.
Menyikapi persoalan di atas, LPSK merekomendasikan beberapa hal, antara lain:
1. Pemerintah perlu mengoptimalisasi kampanye pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dan alokasi anggaran yang memadai untuk melakukan perlindungan kepada anak dan perempuan;
2. Diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan kepada anak dengan pengalokasian anggaran yang memadai, kualifikasi SDM kompetitif dan pembangunan tempat rehabilitasi korban setidaknya di setiap provinsi/kota dan kabupaten;
3. Pemerintah diharapkan dapat mendukung advokasi perlindungan anak dan perempuan yang dilaksanakan NGO, ormas, akademisi, dan membuat jaringan yang operasional;
4. Patroli siber harus digalakkan untuk menghapus konten pornografi dan prostitusi online. (jo4)
Tidak ada komentar: