Penetapan Perairan Danau Toba Jadi Oligotrofik Perlu Dikaji Ulang
Danau Toba |
Pernyataan tersebut diungkapkan Prof Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol, MS salah seorang peneliti dari CARE LPPM IPB University bersama Dr Ir Dahri Tanjung, MSi, dan Prof Dr Ing Ternala Alexander Barus, MSc, peneliti dari Universitas Sumatera Utara, Kamis ( 03/06/2022).
Prof Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol juga menyampaikan, bahwa Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 tentang daya tampung Danau Toba dengan 10.000 ton pertahun membuat pelaku usaha perikanan di perairan Danau Toba menjadi gelisah karena dapat menutup mata pencarian mereka.
Selain membuat masyarakat petani keramba jaringan apung gelisah dan resah, penetapan status perairan Danau Toba menjadi oligotropik juga dinilai bertentangan dengan pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas, sehingga kedua surat keputusan tersebut perlu dilakukan kajian yang mendalam.
"Sebab jika status oligotropik diterapkan, semua kegiatan perekonomian diperairan Danau Toba tidak boleh ada, termasuk kegiatan pariwisata dan moda transportasi, itu jelas diatur dalam PP Nomor 22 Tahun 2001," ujar Prof Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol.
Manuntun Parulian juga mengatakan, bahwa penerapan perairan oligotropik dan daya dukung budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) sebesar 10.000 ton per tahun bukan solusi yang tepat untuk mengendalikan pencemaran "Apakah dengan hanya menurunkan cemaran fosfor dari budidaya KJA, perairan Danau Toba akan bisa kembali menjadi normal?" tanyanya.
Berdasarkan hasil penelitian, sumber cemaran Danau Toba berasal dari cemaran eksternal dan internal dan kegiatan pemanfaatan di Daerah Tangkapan Air ( DTA ) juga merupakan sumber cemaran, artinya bukan KJA penyumbang cemaran terbesar," kata Prof. Dr. Ir Manuntun Parulian.
Manuntun Parulian menjelaskan, bahwa saat ini, ada sembilan klaster lainnya yang memberikan efek lebih besar pada pencemaran yang terjadi di Kawasan Danau Toba, Klaster-klaster tersebut antara lain adalah sungai-sungai yang mengalir ke Danau Toba seperti Sungai Asahan, kemudian adanya pelabuhan, pencemaran dari bukit yang berasal dari perladangan dan desa, aktifitas peternakan dan pemukiman
Sementara Okupasi Keramba Jaringan Apung ( KJA ) di atas permukaan perairan Danau Toba hanya 0,4 persen dari total permukaan air Danau Toba. Berbeda jauh dengan okupasi KJA di Danau Batur yang diperbolehkan hingga 1 persen dari total luas permukaan," terang Prof Dr Ir Manuntun Parulian .
Manuntun Parulian juga menyampaikan, perlu kita ketahui bersama, perairan Danau Toba dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat seperti pariwisata, transportasi, pembangkit listrik tenaga air dan budidaya perikanan ikan sehingga mereka merekomendasikan status Danau Toba tetap dengan status mesotropik dengan daya tampung 76 ribu ton pertahun demi kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian pariwisata dan perikanan bisa berdampingan demi kesejahteraan masyarakat sekitar Kawasan Danau Toba, "Jadi, kalau ada sektor yang sudah terbukti berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan memberikan kesejahteraan untuk masyarakat serta ketahanan pangan sebaiknya dikelola dengan baik," jelasnya.
Sementara Prof Dr Ing Ternala Alexander Barus, MSc salah seorang peneliti dari Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan, sejatinya pariwisata dan aktivitas budidaya ikan dapat berdampingan, berkoeksistensi dan berkembang bersama demi kesejahteraan masyarakat kawasan Danau Toba.
"Untuk mengurangi beban pencemaran kawasan Danau Toba, bisa dilakukan secara bersama sama dengan pemerintah, swasta & masyarakat dengan dengan komitmen, penataan dan peraturan yang jelas serta memanfaatkan teknologi yang ada, itu bisa dilakukan,” jelas Ternala Alexander Barus. (jun)
Tidak ada komentar: