Petani KJA Minta Gubsu Merevisi SK Gubernur Nomor 188.44/213/KPTS/2017
Petani keramba jaring apung (KJA) mendesak Gubernur Sumut Edy Rahmayadi untuk merevisi SK Gubernur. |
Hal ini disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat petani KJA di Kabupaten Toba Tuan Nanser Sirait kepada Wartawan, Senin (29/8/2022) di Ajibata, Toba, Sumut.
Masalahnya akibat kebijakan tersebut serta Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/209/KPTS/2017 mengenai Status Trofik Danau Toba, tidak saja tentang penataan.
"Isi surat tersebut mengharuskan para pelaku usaha KJA untuk mengurangi kapasitas produksi jauh di bawah kapasitas yang telah berlangsung hari ini," ujarnya pria yang akrab disapa Tunas ini.
KJA milik masyarakat yang jumlahnya hingga 14.000 unit sangat mendominasi bisnis perikanan air tawar di Danau Toba. Tentu saja, nasib sekitar 12.000-an manusia menjadi hal yang tidak boleh dipertaruhkan secara sembrono apalagi dalam menghadapi dampak pandemik dan Inflasi yang sedang meningkat.
Lebih lanjut Tunas menyebutkan SK itu perlu direvisi karena di dalamnya menyebutkan daya dukung Danau Toba untuk KJA harus menjadi 10.000 ton per tahun, dengan tujuan agar kualitas air yang disebut tercemar dapat terkendali.
Padahal persoalan bisnis perikanan KJA di Danau Toba ini sangat kontradiksi dengan data yang dimiliki Pemprov Sumut melalui SK Gubernurnya (daya tampung 10.000 ton/tahun), yang berbeda dengan data Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Masalahnya kurang akurat target dari kebijakan SK Gubernur itu akan sangat berpeluang menambah angka kemiskinan petani KJA di Danau Toba. Saat ini saja produksi perikanan KJA di Danau Toba mencapai rata rata 50.000 ton pertahun dan pendapatan perkapita petani KJA mencapai rata rata 50 juta dan kalau diturunkan target produksinya menjadi 10.000 Ton maka akan menambah Angka Kemiskinan di Danau Toba," tegas Nanser Sirait.
Tunas mengharapkan kepada Gubenur Sumut agar mendiagnosa masalah yang tepat dan komprehensif sebagai input kebijakan, sebelum kebijakan ditetapkan.
kebijakan ini nampaknya kurang diperhatikan oleh pemerintahan pusat dan pemerintahan Provinsi Sumatra Utara saat menetapkan KJA sebagai sumber pencemaran utama di Danau Toba, lalu menginisiasi sektor pariwisata sebagai penggantinya.
Kebijakan yang menganakemaskan sektor pariwisata tersebut, akhirnya mengharuskan usaha-usaha KJA yang selama ini telah terbukti berdampak positif khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menekan angka kemiskinan masyarakat setempat, harus terpinggirkan secara perlahan.
"Jika tindak lanjut dari kebijakan tersebut hanya sebatas zonasi atau penataan kawasan, menurut hemat saya, para pelaku usaha KJA akan dengan rela mendukung dan melakukan penataan," sambungnya.
Selain itu, berbeda juga dengan Tim Riset Care LPPM IPB dengan data terbarunya yang menyatakan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan berkisar antara 33.810 ton sampai 101.435 ton per tahun.
Lebih Lanjut Tunas menduga bahwa pemerintah pusat maupun provinsi, secara sengaja atau tidak sengaja, menumpahkan semua kesalahan kepada usaha KJA atas pencemaran yang terjadi di Danau Toba.
Padahal, menurut penelitian, justru usaha KJA tidak berperan terlalu signifikan dalam mencemari Danau Toba. Jadi secara regulasi, surat keputusan gubernur tersebut bukan hanya melarang usaha perikanan KJA tapi kegiatan pariwisata di atasnya pun semestinya tidak diperbolehkan.
Artinya, jika pemerintah daerah konsisten, maka surat keputusan gubernur tentang status Danau Toba bisa dijadikan acuan legal untuk memprioritaskan segala rupa usaha pariwisata di Danau Toba.
"Dengan kata lain, pemerintah sudah melakukan keteledoran kebijakan publik mulai dari proses awal pembuatan kebijakan SK Gubernur Nomor 188.44/213/KPTS/2017 yakni input kebijakan tersebut tidak akurat," ujar Tunas.
Sebagai petani KJA Tunas juga berharap bahwa hasil kajian ke depan dapat lebih akurat untuk segera merevisi SK Gubernur Nomor 188.44/213/KPTS/2017 Tersebut dan mampu mengakhiri polemik data yang ada. (josm-01)
Tidak ada komentar: